Lebih lanjut Rudi mengungkapkan RJ sudah ada sejak nomor 11 tahun 2012 tentang diversi (perkara anak). Sedangkan untuk narkotika belum ada.
Sementara untuk pengadilan sudah ada ketentuan RJ yang dikeluarkan SK Dirjen Badilum.
"Ada ketentuan 5 perkara yang bisa di-RJ. Pertama anak, Tipiring, perlindungan anak, perlindungan wanita dan yang terakhir narkoba. Namun untuk saat ini ditangguhkan, bukan berarti tidak bisa diterapkan lagi. Sementara tidak boleh dipakai karena mau ditingkatkan ke Peraturan MA (Perma)," ungkapnya.
Rudi menyampaikan bahwa menurut rapat putusan kamar terhadap perkara narkotika yang didasari pada penggunaan pasal 127 (pengguna) yang tidak didakwakan Mahkamah Agung menerbitkan tiga Surat Edaran MA nomor 4 di tahun 2010, nomor 3 tahun 2015 dan nomor 1 tahun 2017.
"Bila tidak didakwakan pasal pengguna, namun dipersidangan terbukti sebagai pengguna bukan pengedar maka bisa diputus dengan pasal 127. Didasarkan juga atas surat dakwaan sesuai pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHP. Ada barang bukti bong (alat hisap), beratnya di bawah 0,5 gram dan assesment," bebernya.
Terkait dengan pengertian RJ sendiri adanya pelaku dan korban, Rudi enggan mengomentari lebih lanjut. "Tanyakan jaksanya," singkatnya.
Diberitakan sebelumnya, untuk pertama kalinya, Kejati Jatim menyelesaikan kasus narkoba secara keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).
Kejati Jatim menghentikan penuntutan dengan cara RJ dilakukan terhadap tersangka PE Bin G, seorang buruh serabutan yang tinggal di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Kasus narkoba yang menjerat tersangka ini sebelumnya ditangani Polres Trenggalek.