Kabulkan Syarat Capres-Cawapres Pernah jadi Kepala Daerah, Ketua MK Diblejeti Wakil Ketua MPR: Ada yang Keliru

16 Oktober 2023, 23:01 WIB
Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah /Instagram @mahkamahkonstitusi/dok. Pribadi

ZONA SURABAYA RAYA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi sorotan publik, menyusul keputusan yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), terkait batas usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).

Dalam putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, ketentuan syarat umur Capres dan Cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Berdasarkan amar putusan MK itu, maka redaksi ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang syarat usia Capres dan Cawapres berubah menjadi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".

Wakil Ketua MPR RI, Dr. Ahmad Basarah, SH, MH menyebut putusan MK kontroversial. Menurut dia, keputusan itu lebih kelihatan aspek politiknya ketimbang aspek hukum konstitusi, yakni mengenai pengujian ketentuan syarat usia Capres dan Cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Baca Juga: PSI Keok! MK Putuskan Tolak Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres, Bagaimana Nasib Gibran?

"Apabila dicermati secara detail putusan tersebut, maka terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK tersebut," ungkap Basarah dalam keterangannya, Senin 16 Oktober 2023.

Dijelaskannya, persoalan tersebut berkaitan dengan amar putusan. Bahwa amar putusan MK "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
 
Terhadap amar putusan tersebut, lanjut Basarah, ada 4 hakim Konstitusi yang menyatakan Dissenting Opinion (pendapat berbeda) dengan menyatakan “menolak permohonan tersebut”.  Ke empat hakim MK itu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
 
Selain itu, masih kata Basarah, terdapat 2 Hakim Konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki concurring opinion (alasan berbeda), yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Baca Juga: KPU Diingatkan soal Tugas Lakukan Litsus Rekam Jejak Capres dan Cawapres, Simak Dasar Hukumnya

"Apabila dicermati lagi pendapat 2 hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut menyampaikan dissenting opinion, sebab kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan," papar politisi PDI Perjuangan (PDIP) ini.
 
Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya
“berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang”.
 
Kemudian, menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusannya seharusnya: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi”.
 
"Artinya, sejatinya hanya 3 orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan ini (berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," kata Basarah.

Baca Juga: Dugaan Gibran Diusung di Pilpres 2024, Arek Banyuwangi Lawan PSI yang Usulkan Usia Capres-Cawapres 35 Tahun
 
"Sisanya 6 hakim konstitusi lainnya, memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan amar putusan. Oleh karena itu, sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon," sambung dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma). 

Jika dipaksakan bahwa 5 orang hakim mengabulkan permohonan, masih kata Basarah, maka titik temu diantara 5 orang hakim adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah Gubernur.

"Dengan demikian putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/walikota," tandas Basarah.

Baca Juga: Dijamin Seru, Enam Partai Tinju Ramaikan Sabuk Emas Pangdam V Brawijaya, Ini Daftar Petinju yang Bertarung

Ingatkan KPU untuk Hati-hati

Menurut dia, dengan putusan yang problematik seperti ini maka sudah selayaknya untuk tidak serta merta diberlakukan. Sebab, mengandung persoalan, yaitu kekeliruan dalam mengambil putusan yang berakibat pada keabsahan putusan.

"Putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan," tandas Basarah.

Karena itu, ia kembali mengingatkan KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk berhati-hati jika menerapkan putusan MK itu untuk kepentingan Pilpres 2024.

"Sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini," pungkas Ahmad Basarah.

Baca Juga: Lawan Anies-Cak Imin, PDIP Gas Pol! Targetkan Raup 60 Persen Menangkan Ganjar Pranowo di Jawa Timur

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia Capres dan Cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023.

Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Ia memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Baca Juga: Survei Terbaru: Warga Jawa Timur Pilih Erick Thohir dan Khofifah sebagai Cawapres, Cak Imin Malah Keok

MK berkesimpulan permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’," papar Anwar.

Dalam pertimbangannya, mahkamah menilik negara-negara lain yang memiliki presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun.

Kemudian, juga melihat Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa yang mengatur syarat capres berusia di bawah 40 tahun.

Sementara itu dalam konteks negara dengan sistem parlementer, kata mahkamah, terdapat pula perdana menteri yang berusia di bawah 40 tahun ketika dilantik atau menjabat.

Data tersebut dinilai mahkamah menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda. ***

 

Editor: Ali Mahfud

Tags

Terkini

Terpopuler