Para ahli hadits menyebutkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah mazhab Hanafiyyah adalah lemah, atau diarahkan kepada pengukuhan anjuran berkurban.
Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan:
“Para pakar hadits melemahkan hadits-haditsnya Hanafiyyah, atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadits Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh.
Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukum adalah tidak adanya kewajiban”. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz.3, hal.597).
"Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu diperselisihkan oleh para ulama," terang Ustadz M. Mubasysyarum.
Baca Juga: Makna Idul Adha: Sejarah, Kisah Saudara Kembar dan Penyembelihan Anak Manusia (Bagian 1)
Menurut mazhab Hanafiyah hukumnya haram (berdosa) sebab berkurban adalah wajib.
Sedangkan menurut mayoritas ulama tidak berkonsekuensi dosa, karena berkurban hukumnya sunah (tidak wajib).
Berpijak dari pendapat mayoritas, meski berkurban hukumnya sunah, namun meninggalkannya bagi orang yang mampu adalah makruh, sebab terjadi ikhtilaf dalam status wajibnya.
"Oleh sebab itu ulama menegaskan bahwa berkurban lebih utama daripada sedekah sunah biasa," lanjutnya.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan: