Apa Hukum Orang Mampu tapi Tidak Mau Kurban di Hari Raya Idul Adha? Ini Penjelasan Ulama

28 Juni 2022, 20:49 WIB
Ilustrasi. Apa Hukum Orang Mampu tapi Tidak Berkurban di Idul Adha? Ini Penjelasan Ulama /UNSPLASH/Nasik Nababan


ZONA SURABAYA RAYA- Hari Raya Idul Adha menjadi momen yang selalu ditunggu-tunggu umat muslim. Terlebih lagi, saat penyembelihan hewan kurban.

Karena itulah, Hari Raya Idul Adha juga sering disebut dengan Hari Raya Kurban.

Dalam Islam, umat muslim yang mampu secara finansial sangat dianjurkan untuk berkurban. Bisa sapi, lembu ataupun kambing.

Persoalannya, bagaimana jika orang mampu atau kaya, tapi tidak mau berkurban. Apa hukumnya dalam Islam terhadap tipikal orang tersebut?

Baca Juga: Idul Adha 2022: Tata Cara Puasa Dzulhijjah, Hadist, Keutamaan, Waktu, dan Niat Lengkap

Untuk diketahui, Idul Adha diperingati setiap tanggal 10 Zulhijah dalam kalender Hijriyah. Tahun 2022 ini, Idul Adha diperkirakan jatuh pada hari Sabtu, 9 Juli 2022.

Namun pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) belum menentukan kepastiannya, karena masih harus menunggu hasil keputusan sidang isbat untuk menentukan tanggal 10 Zulhijah.

Jika Idul Adha nanti benar jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022, maka waktu penyembelihan hewan kurban hingga Selasa, 12 Juli 2022.

Baca Juga: Idul Adha 2022, Simak Tata Cara Pemilihan Hewan Qurban dan Tips Penanganan Daging Segar, Jangan sampai Salah!

Mengenai hukum orang mampu tapi tidak mau berkurban, dalam Islam terjadi perbedaan pendapat.

Ustadz M. Mubasysyarum, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat menjelaskan pada dasarnya para ulama sepakat, bahwa kurban sangat dianjurkan bagi orang mampu.

Hanya saja, mereka berbeda pendapat apakah anjuran itu wajib atau sunnah.

Berkurban merupakan syiar Islam yang hampir semua orang mengetahui akan anjuran dan pahala besar yang didapatkan oleh muslim yang melaksanakannya.

Anjuran berkurban tentu saja hanya bagi orang yang mampu secara finansial.

Baca Juga: 3 Outlet Holywings di Surabaya Ditutup, Wali Kota Eri Cahyadi: Nekad Buka, Habis

"Namun demikian, tidak semua orang kaya melaksanakan kurban. Bisa jadi karena mempersiapkan untuk kebutuhan tertentu, prioritas hal lain, keengganan, dan lain sebagainya," papar Ustadz M. Mubasysyarum dikutip dari NU Online, Selasa 28 Juni 2022.

Lantas, bagaimanakah pandangan fiqih Islam mengenai orang mampu secara finansial namun tidak melaksanakan kurban?

Menurut Ustadz M. Mubasysyarum, hukum berkurban bagi mereka diperselisihkan oleh para ulama.

Pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah hukumnya sunah.

Artinya sesuatu yang apabila dilakukan mendapat pahala, bila ditinggalkan tidak berdosa.

Baca Juga: Cegah Wabah PMK, Berikut Alur Pengajuan Tempat Pemotongan Hewan Qurban Di Surabaya, Simak!

Di antara argumen mayoritas ulama adalah hadits Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda yang artinya:

Tiga hal yang wajib bagiku, sunah bagi kalian yaitu shalat witir, kurban, dan shalat Dhuha” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Dalam riwayat Imam al-Tirmidzi disebutkan sabda Nabi yang artinya:

Aku diperintahkan berkurban, dan hal tersebut sunah bagi kalian” (HR al-Tirmidzi).

Dalam haditsnya Ummu Salamah disebutkan bahwa Nabi bersabda:

Bila kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian menghendaki berkurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (untuk tidak dipotong)” (HR. Muslim dan lainnya).

Baca Juga: Kenapa Kita harus Puasa Dzulhijjah, Tarwiyah dan Arafah sambut Idul Adha 2022? Ini 10 Kemuliaan tiada Tanding!

Dalam hadits tersebut terdapat pesan bahwa pelaksanaan kurban tergantung pada kehendak seseorang, yang memberi petunjuk dinafikannya kewajiban berkurban.

Syekh Wahbah al-Zuhaili berkata:

Dalam haditsnya Ummu Salamah terdapat penggantungan kurban dengan kehendak, sedangkan menggantungkan ibadah dengan kehendak meniadakan hukum wajib”. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz.3, hal.596).

Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib bagi setiap orang mukim yang mampu kecuali orang yang sedang melaksanakan haji di Mina.

Yang dimaksud mampu adalah orang yang memiliki harta lebih senilai nishabnya zakat mal, yaitu 200 Dirham, yang melebihi kebutuhan pokok dirinya dan pihak yang wajib ditanggung nafkahnya.

Baca Juga: Doa agar Dihindarkan dari Makanan Beracun beserta Artinya jelang Hari Raya Idul Adha 2022

Syekh al-Imam al-Nawawi berkata:

Dan berkata Rabi’ah, al-Laits bin Sa’ad, Abu Hanifah dan al-Auza’i, berkurban adalah wajib atas orang yang kaya kecuali jamaah haji di Mina”.

Berkata Muhammad bin al-Hasan bahwa kurban adalah wajib atas orang yang bermukim di kota-kota, yang masyhur dari Abu Hanifah bahwa beliau hanya mewajibkan kurban bagi orang mukim yang memiliki satu nishab (200 dirham)” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’, juz.9, hal. 290).

Di antara argumen Abu Hanifah adalah haditsnya Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

Barang siapa mampu berkurban dan ia tidak melaksanakannya, maka janganlah ia menghadiri tempat shalat kami”. (HR. al-Baihaqi).

Baca Juga: Rabu Besok! Batas Potong Kuku Idul Adha 2022, Ini Daftar Lengkap Amalan yang Dilarang

Para ahli hadits menyebutkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah mazhab Hanafiyyah adalah lemah, atau diarahkan kepada pengukuhan anjuran berkurban.

Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan:

Para pakar hadits melemahkan hadits-haditsnya Hanafiyyah, atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadits Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh.

Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukum adalah tidak adanya kewajiban”. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz.3, hal.597).

"Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu diperselisihkan oleh para ulama," terang Ustadz M. Mubasysyarum.

Baca Juga: Makna Idul Adha: Sejarah, Kisah Saudara Kembar dan Penyembelihan Anak Manusia (Bagian 1)

Menurut mazhab Hanafiyah hukumnya haram (berdosa) sebab berkurban adalah wajib.
Sedangkan menurut mayoritas ulama tidak berkonsekuensi dosa, karena berkurban hukumnya sunah (tidak wajib).

Berpijak dari pendapat mayoritas, meski berkurban hukumnya sunah, namun meninggalkannya bagi orang yang mampu adalah makruh, sebab terjadi ikhtilaf dalam status wajibnya.

"Oleh sebab itu ulama menegaskan bahwa berkurban lebih utama daripada sedekah sunah biasa," lanjutnya.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

Dan makruh meninggalkan kurban karena ikhtilaf ulama dalam kewajibannya, karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah.”

Baca Juga: Makna Idul Adha: Sejarah, Kisah Saudara Kembar dan Penyembelihan Anak Manusia (Bagian 2 - Habis)

Syekh Abdul Hamid al-Syarwani memberi komentar atas referensi di atas sebagai berikut:

“Ucapan Syekh Ibnu Hajar; karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah; apakah yang dimaksud bahwa hanya daging kurban yang disedekahkan dari kurban lebih utama dari sedekah sunah (sebuah kejanggalan)?

Dari Syekh Ibnu Qasim al-‘Ubbadi. Aku berkata, pendapat yang jelas bahwa yang dikehendaki adalah seluruh daging kurban (baik yang disedekahkan atau yang dikonsumsi pribadi), dan karunia Allah luas”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dan Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiyah al-Syarwani, juz.12, hal.246). ***

Editor: Ali Mahfud

Tags

Terkini

Terpopuler