Soal Vonis Bebas Dua Polisi di Kasus Tragedi Kanjuruhan, Ini Analisis Guru Besar Hukum Pidana

- 20 Maret 2023, 16:00 WIB
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Romli Atmasasmita /Unpad

ZONA SURABAYA RAYA - Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan dua anggota polisi dalam kasus Tragedi Kanjuruhan hingga kini masih menjadi perdebatan publik.

Kedua anggota polisi divonis bebas itu mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

Menanggapi pro dan kontra vonis bebas dua anggota polisi, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Romli Atmasasmita angkat bicara. 

Dalam analisisnya, Prof Romli menilai majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan vonis bebas dua anggota polisi itu tentunya sudah melalui pertimbangan hukum. 

Baca Juga: Mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik juga Divonis Bebas di Sidang Tragedi Kanjuruhan

Salah satunya melihat fakta-fakta yang terungkap selama persidangan Tragedi Kanjuruhan.

Prof Romli melanjutkan, vonis bebas dalam hukum acara pidana juga bukan sesuatu yang diharamkan.

"Vonis bebas dalam hukum acara pidana yang berlaku adalah salah satu dari tiga jenis putusan pengadilan (vonis), selain putusan dilepas dari penuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dan dihukum," jelas Prof. Romli tertulis, Senin, 20 Maret 2023.

Baca Juga: Tak Terbukti Bersalah, Terdakwa Kasus Tragedi Kanjuruhan AKP Bambang Sidik Divonis Bebas

Menurutnya, ketiga kemungkinan putusan pengadilan tersebut tergantung dari fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan para terdakwa.

"Teori hukum pidana dan juga doktrin hukum pidana berfungsi menciptakan ketertiban dalam masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum, dan dengan kepastian hukum tersebut diharapkan akan tercipta keadilan dan lebih jauh juga memberikan kemanfaatan," papar Prof Romli.

"Dengan demikian tujuan akhir bukanlah harus selalu menghukum atau memenjarakan setiap orang yang diduga melakukan kejahatan," lanjutnya.

Baca Juga: Sidang Tragedi Kanjuruhan, Mantan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman Divonis 18 Bulan

Perlindungan HAM

Prof. Romli menambahkan, seiring dengan perkembangan masyarakat dunia, khususnya Indonesia abad 20 sampai 21, saat ini diketahui bahwa perlindungan hak asasi manusia (HAM) merupakan idiologi baru hukum pidana, di sampimg filosofi Pancasila dan filosofi pembalasan (lex talionis) lazimnya dipraktikan selama berabad-abad lamanya.

"Namun diwajibkan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap orang termasuk tersangka, terdakwa dan terpidana serta korban tindak pidana," ujarnya.

"Contoh wujud perlindungan hak asasi manusia dalam hukum pidana adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), non-self incriminating evidence, ne bis in idem, in dubio pro reo, dan abus de droit," tambah Prof. Romli.

Kata Prof. Romli, kekeliruan persepsi masyarakat mengenai tata cara berhukum dalam suatu perkara pidana yang keliru adalah selalu menghujat dan tunjuk hidung kepada aparatur penegak hukum, terutama petugas kepolisian.

Baca Juga: CUAN Cuan Cuan! Modal Rp 10.000 Bisa Beli Emas, Ini 6 Aplikasi Investasi Emas Digital Aman dan Menguntungkan

"Ini akibat kurangnya pemahaman akan perkembangan praktik dan teoritik hukum dan diperparah oleh mereka yang justru paham hukum dan hak asasi manusia, yang selalu mengedepankan hak asasi korban, tidak juga pada pelaku kejahatan," terang dia.

"Dalam hal ini telah terjadi ketidakseimbangan pandangan mengenai hak dan kewajiban asasi manusia yang terus berlanjut tanpa koreksi yang terbaik dari para ahli atau pakar hukum pada umumnya, khusus ahli hukum dan hak asasi manusia bahwa di dalam setiap HAK selalu melekat kewajian asasi yang harus dipahami secara seimbang dan untuk saling dihormati," papar Prof. Romli.

Masih kata Prof. Romli, sejak dilakukan perubahan konstitusi UUD '45, seyogyanya semua pihak, termasuk pakar hukum dan hak asasi manusia memahami selain ketentuan Hak Asasi Manusia Bab XA, Pasal 28 A sd Pasal 28 I, juga harus dipahami ketentuan kewajiban hak asasi manusia tersebut, tercantum dalam Pasal 28 J.

Pasal 28 J itu berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hukum pidana baik secara teoritik maupun praktik, diakui teori sebab-akibat (causaliteit leer) Von Buri yang nengutamakan sebab terdekat dari suatu peristiwa untuk menentukan siapa penyebab dari suatu tindak pidana dari sekian banyak sebab.

Baca Juga: RESMI! Persebaya Surabaya dan Ze Valente Sepakat Perpanjangan Kontrak sampai Tahun 2025!

Penyebab 135 Korban Meninggal dan 75 Luka

Prof. Romli memaparkan, dalam konteks kasus tragedi Kanjuruhan, diketahui bahwa sebab terdekat dari peristiwa 135 orang meninggal dan 75 orang luka berat atau ringan adalah keadaan stadion yang sudah tidak laik fungsi.

Terutama pintu gerbang 13 yang pada saat kerjadian penonton atau supporter mencari jalan keluar dalam keadaan seperempat terbuka, sehingga para korban terinjak-terinjak.

"Sebab terjauh adalah gas air mata yang mengakibatkan dua petugas Polri meninggal di lapangan yang didukung oleh provokasi beberapa oknum suporter untuk menyerbu lapangan dan petugas di lapangan. Keadaan chaos yang sudah tidak terkendali menimbulkan keadaan darurat (overmacht)," ungkapnya.

"Dalam keadaan chaos tidak terkendali di malam hari, dipastikan tidak dapat diketahui secara pasti siapa penyebab dan siapa korban. Dan teori kausalitas merupakan alternatif solusi yang paling dapat diterima dan objektif," sambung Prof. Romli.

Baca Juga: Investor Asing Laporkan Dugaan Penggelapan Rekan Bisnis Rp7 Miliar, tapi Di-SP3 Polda Jatim

Dalam kasus tragedi Kanjuruhan, lanjut Prof. Romli, semua empati dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk Komnas HAM terhadap keluarga korban hendaknya juga diiimbangi dengan teori dan doktrin hukum pidana yang diakui universal, sehingga menghasilkan objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan hukum.

"Itulah suatu negara hukum, bukan negara penghukuman. Dalam pandangan saya, bertolak pada keadaan dan situasi kondisi di tengah peristiwa, justru sudah tepat Majelis Hakim PN Surabaya jika memberikan putusan bebas terhadap para terdakwa dari instansi kepolisian," tegas Prof. Romli.

Alasannya, menurut Prof. Romli, tidak pasti dan tidak adil kiranya jika beban pertanggungjawaban pidana selalu dilekatkan pada jabatan yang disandang pelaku, seperti pihak kepolisian.

"Karena metoda beban pertanggungjawaban seperti itu hanya mencari dan menemukan kebenaran formil. Sedangkan tujuan hukum pidana sebenarnya, selain telah diuraikan di atas, adalah juga mencari dan menemukan kebenaran materiil. Kebenaran sesungguhnya yaitu penyebab nyata dari suatu peristiwa pidana," pungkas Prof Romli. ***

Editor: Ali Mahfud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x