Love Bombing, Sejuta Manipulasi di Balik Afeksi

- 13 Desember 2023, 20:14 WIB
ilustrasi patah hati.
ilustrasi patah hati. /Pixabay/Pexels

Love bombing umumnya berkaitan dengan narsistik. Love bombing dapat dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda. Faktanya, penelitian menemukan bahwa individu yang memiliki tingkat narsisme yang tinggi cenderung menjadi pelaku love bombing.

Akan tetapi, pelaku tidak selalu menyadari hal tersebut. Biasanya, pelaku tergila-gila dan sangat bersemangat akan hubungan baru. Pelaku dapat mengungkapkan perasaannya dengan sangat ‘sat set sat set’ tanpa ada niat memanipulasi. Namun, tetap ya teman-teman, jika perilaku ini dilakukan secara terus-menerus juga disertai dengan hal-hal manipulatif, hal ini bisa menjadi pertanda akan masalah yang lebih dalam.

Dalam hal lain, orang narsistik biasanya menyadari penggunaan love bombing sebagai cara manipulatif. Love bombing cara yang dilakukan orang yang narsistik agar mendapatkan kendali atas seseorang, kekaguman, atau ketergantungan emosional dari targetnya.

Orang narsistik yang melakukan love bombing tidak menganggap hal yang dilakukan adalah perbuatan yang salah, mereka merasionalisasikan tindakan mereka dengan mempercayai bahwa yang mereka lakukan merupakan penunjukkan kepada kekasihnya tentang bagaimana mereka benar-benar peduli atau percaya pada intensitas perasaan mereka saat ini.

Siapa pun tentunya dapat mengalami love bombing, hal ini merupakan gejala gangguan kepribadian narsistik (NPD). Perilaku love bombing tidak selalu disadari, pelaku hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan seseorang secepatnya.

Ketika pelaku benar-benar merasa telah mendapatkannya, mendapatkan tujuannya, Ia berubah dan menjadi sangat kasar, manipulatif, dan ketidakstabilan emosi. Orang yang narsistik dapat memperkuat harga dirinya dari respon positif sang korban yang memenuhi egonya dan meyakini bahwa dirinya luar biasa melalui love bombing.

Hans Breiter, ahli saraf di Harvard University, mengatakan bahwa beberapa orang tampaknya dilahirkan dengan sistem dopamin yang rentan sehingga mudah ‘dibajak’ oleh imbalan sosial. Pelaku love bombing mencari orang-orang yang memiliki self esteem yang rendah.

Mereka mencari seseorang yang meragukan nilai diri mereka sendiri. Kemudian, datanglah sang pelaku menghujam korban dengan segala bentuk kasih sayang, ungkapan cinta yang manisnya berlebihan, perhatian yang tidak memiliki akhiran. Aliran dopamin meningkat karena pelaku memenuhi kebutuhan korban yang tidak dapat dipenuhi oleh korban itu sendiri.

Lalu, mengapa pada saat love bombing itu terjadi rasanya sangat mendebarkan dan menyenangkan? Layaknya insan yang sedang jatuh cinta, ketika kita diberi serangan bertubi-tubi dengan kasih sayang, perhatian, ungkapan cinta, love bombing melepaskan hormon bahagia seperti dopamin, serotonin, oksitosin, dan norepinefrin. Namun, tidak lama dari itu, orang yang mengalami love bombing juga dapat merasa cemas, rasa bersalah, dan tidak nyaman ketika Ia merasa tidak dapat membalas rasa cinta yang setara.

Dalam fase akhir love bombing, individu dapat mengalami gejala fisik seperti insomnia, gangguan makan, dan ketidakmampuan berpikir secara jernih, dan lainnya. Korban dapat mengalami peningkatan hormon kortisol yang dapat menyebabkan gejala-gejala tersebut.

Halaman:

Editor: Budi W


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah