Menelusuri Jejak Sejarah Markas Ulama dan Santri saat Pertempuran 10 November

3 November 2023, 12:00 WIB
Markas Besar Oelama (MBO) di Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, yang diyakini sebagai sentrum koordinasi para ulama dan pejuang serta pusat penggemblengan laskar pejuang dalam Pertempuran Surabaya. ANTARA/HO-Tim MBO PWNU Jatim. /

ZONA SURABAYA RAYA - Berbicara mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tak lepas dari andil para ulama dan santri yang turut serta dalam pertempuran 10 November.

Bukti sejarah tersebut bisa ditelusuri melalui jejak markas dan ulama yang saat itu menjadi saksi bisu perjuangan pertempuran 10 November.

Jejak markas ulama dan santri pada pertempuran 10 November 1945 yang hingga saat ini masih berdiri yakni Markas Besar Oelama, MBO yang berada di Waru, Sidoarjo, Jawa Timur.

Baca Juga: Link Download Resolusi Jihad Hari Santri Nasional 2023, Simak Juga Sejarah, Isi dan Pesannya

Dimana bangunan tersebut diyakini sebagai sentrum koordinasi para ulama dan pejuang, serta pusat penggemblengan laskar pejuang dalam pada pertempuran 10 November Surabaya.

Seperti melansir dari Antara, 3 November 2023, diakui atau tidak, di bahwa jejak dari heroisme para ulama dan santri terkait Pertempuran 10 November 1945 terdapat dalam naskah "Resolusi Jihad" yang diputuskan para ulama pada 22 Oktober 1945.

Pencarian jejak sejarah keberadaan markas santri dan ulama pertempuran 10 November

Baca Juga: Awal Bulan Shafar 2023 Ditentukan oleh Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama

Kemudian hingga pada akhirnya Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.

Dimana saat itu, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memerintahkan kepada PWNU Jatim untuk melacak jejak yakni markas perjuangan para ulama dan santri terkait pertempuran 10 November 1945 secara lebih riil, dalam bentuk bangunan bersejarah sebagai bukti jejak konkret.

Dengan arahan dari Gus Dur tersebut, kemudian pelacakan jejak sejarah itu pun dimulai, diawali dengan penelusuran di Blauran dan Wonokromo, Surabaya.

Hasilnya dari pelacakan dalam kurun 2019 akhirnya menemukan dua markas, dengan adanya dukungan berupa bukti dan saksi, dimana dua markas perjuangan ulama-santri yang dimaksud yakni, markas di Blauran Gang IV nomer 25 Surabaya.

Baca Juga: Menggelegar sampai Langit, Wali Kota Eri Cahyadi: Kita Kembalikan Kota Surabaya sebagai Kota Santri!

Dimana pada akhirnya bergeser karena Arek-Arek Suroboyo saat itu dipukul mundur oleh Sekutu hingga berpindah ke markas Waru, tepatnya diperbatasan Surabaya-Sidoarjo, dan terakhir di Mojokerto, sedangkan untuk jejak di Wonokromo yang disebut justru nihil.

Akan tetapi, jejak bangunan yang masih ada sisa bentuknya hanya tinggal yang berlokasi di belakang Pabrik Paku, Desa Kedungrejo, Waru, Sidoarjo.

Sedangkan markas yang diceritakan, yakni yang berada di Blauran tersebut sudah berbentuk bangunan baru dengan model bukan seperti markas pada awal bentuknya.

Lokasi markas ulama dan santri pertempuran 10 November berada di Waru

Baca Juga: Ringkasan Perjalanan Hidup Gus Dur, Sang Intelektual dan Ulama Kontroversial

Dengan demikian saat ini jejak keberadaan markas ulama dan santri hanya tinggal yang persis berada di Waru, Sidoarjo, atau tepatnya di belakang pabrik paku, di dekat stasiun kereta api Waru.

Hanya lokasi inilah yang masih menyisakan bekas markas yang diyakini menjadi sentrum koordinasi ulama dan dan pusat penggemblengan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah.

Kebenaran sejarah tersebut diperkuat oleh saksi sejarah, yakni Djunaidi yang bermukim di Wedoro Utara RW 1/RW 2 Nomer 41, Wedoro, Waru, Sidoarjo, yang berjarak tidak jauh dari markas ulama dan santri di Waru tersebut.

Seperti mengutip Antara, menyebut bahwa Djunaidi mengaku pada tahun 2000an dirinya sudah sering ngobrol dengan Dimyati, yang merupakan anak pemilik gedung tersebut.

Baca Juga: Kembali Adu Sindir Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid, Begini Kronologi Pecahnya NU Gusdurian dan Cak Imin

"Jauh sebelum ada tim NU yang mengurus dan melacak sejarahnya," ucap Djunaidi.

Dalam percakapan dengan Antara pada 24 Oktober 2023, Djunaidi menjelaskan bahwa ayah Dimyati merupakan sosok orang kaya yang berjualan alat untuk kelengkapan transportasi kuda, yang berjualan di depan rumah yang berada di dekat pasar.

Djunaidi mengatakan bahwa ayah dari Dimyati merupakan orang kaya dan sosok yang dermawan.

"Nah ketika beliau mendengar kalau Mbah Kyai Hasyim Asy'ari mencari tempat yang aman, tempat yang strategis untuk perlawanan terhadap Sekutu, lalu beliau mengorbankan rumahnya tersebut," ungkap Djunaidi.

Alhamdulillah, lanjut Djunaidi, Mbah KH Hasyim Asy'ari berkenan, karena lokasinya memang strategis, berada berbatasan dengan Surabaya dan dekat dengan Stasiun KA Waru.

Baca Juga: Hasil Survei Pilpres 2024 AMIN Jeblok, PKS Sesumbar Tiga Perempat Warga NU Pilih Anies-Muhaimin!

Dengan demikian para ulama dan santri hanya tinggal turun kereta kemudia berjalan beberapa ratus meter saja.

Djunaidi menerangkan bahwa lokasi dari markas ulama dan santri tersebut juga samar, karena ayah dari Dimyati berjualan di depan rumah, dan juga banyak orang yang membeli alat untuk transportasi kuda di depan rumah yang juga dekat dengan pasar itu.

Dengan demikian kondisi tersebut bisa menjadi kamuflase dan bisa mengelabuhi pasukan Belanda yang membangun pos penjagaan di Waru.

Peran markas ulama dan santri pada pertempuran 10 November

Lebih lanjut dikatakan Djunaidi, yang juga pernah menimba ilmu agama di Pesantren Tebuireng tersebut juga sering melakukan kroscek ke santri senior yang bernama Sholeh Hasibuan guna memadukan kebenaran cerita Dimyati dengan pihak Tebuireng.

Baca Juga: Ini Hukum dan Syarat Zakat Fitrah Menurut Para Ulama

Dirinya mengaku ketika melakuka kroscek dan perpaduan data serta informasi maka ditemukan kecocokan mengenai kebenaran dari jejak sejarah tersebut.

"Mbah Kyai Hasyim Asy'ari memang sering wira-wiri ke Waru, keperluannya untuk mengatur strategi perjuangan, bahkan Bung Tomo juga sowan ke Mbah Kyai Hasyim Asy'ari, ya untuk menanyakan kapan mulai perang? Mbah Kyai Hasyim Asy'ari minta waktu," Djunaidi menceritakan.

Djunaidi melanjutkan ceritanya, bahwa ketika itu ternyata Kyai Hasyim Asy'ari meminta waktu tersebut guna menunggu kedatangan Kyai Abbas Jamil Buntet/Cirebon dan Mbah Kyai Hamid Babakan untuk mengatur strategi di markas Waru.

Kemudian setelah itu baru memulai perlawanan terhadap Sekutu, yang saat itu Soengkono selaku komandan pertempuran juga dilibatkan.

Baca Juga: Dengan Suara Menggelegar, Gus Yahya Berseru: Selamat Datang di Abad ke-2 Nahdlatul Ulama!

Djunaidi menceritakan bahwa saat itu strategi yang digunakan dikenal dengan Trisula, hal itu karena mbah Kyai Hasyim Asy'ari membagi tiga pusat pertahanan Kota Surabaya.

Pusat pertahanan itu, ungkap Djunaidi, yakni Kyai Abbas di barat untuk perlawanan udara, mbah Kyai Hasyim Asy'ari di tengah untuk perlawanan darat, dan Kyai Hamid Babakan di timur untuk perlawanan laut.

Sebelumnya, seperti dalam cerita yang diungkapkan Djunaidi, Kyai Abbas Buntet memberi asmak/hizib di sumur yang ada di markas Waru tersebut dan diuji dengan memukul pedang.

Hasilnya tidak ada luka, sehingga laskar yang ikut perlawanan ke Surabaya pun memiliki motivasi yang kuat untuk berangkat.

Baca Juga: Teguran Keras Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf: Jangan Ada Capres-Cawapres Bawa-Bawa NU!

Perlawanan udara dilakukan Kyai Abbas dengan berdoa, hingga batu dan alu pun terbang bergemuruh menghantam pasukan sekutu, dengan demikian sehingga dapat menghadang pesawat hercules yang menyerang Arek-Arek Suroboyo.

Sementara itu, ungkap Djunaidi, perlawanan darat di depan Stasiun Gubeng dan Jalan Pemuda yang dikomandani KH Hasyim Asy'ari justru mampu menewaskan Jenderal AWS Mallaby, yang merupakan komandan AFNEI Brigade 49/Divisi India ke-23.

Jendral AWS Mallaby tewas dengan lemparan granat pada 29 Oktober 1945, dimana saat itu diceritakan bahwa almarhum KH Achiyat Chalimy/Mojokerto menyebut lemparan granat dilakukan santri/tokoh Tebuireng yang melintas tanpa kelihatan.

Perlawanan Arek-Arek Suroboyo yang bersemangat tersebut juga dipicu oleh Resolusi Jihad di Bubutan VI/2 yang merupakan Kantor NU, Surabaya, pada 22 Oktober 1945.

Sebelum Resolusi Jihad dan tewasnya Jenderal Mallaby itu, seperti diceritakan Djunaidi, insiden awal yang memicu pertempuran Surabaya yakni insiden Bendera di Hotel Yamato, pada tanggal 19 September 1945.

Baca Juga: Barokah 1 Abad NU, Sidoarjo Hujan Uang Rp600 Miliar, Kemana Larinya?

Akan tetapi pencetus perang besar sendiri adalah penyebaran pamflet kepada Arek-arek Surabaya tertanggal 9 November 1945, yang bertuliskan agar esok pagi menyerahkan senjata.

Sementara itu berdasarkan Jurnal Studi Sosial Th. 5, No. 2, November 2013 (FIS Universitas Negeri Malang), mencatat bahwa tiga hari pertama pertempuran kala itu, musuh dapat merebut garis pertahanan pertama republik yang mencapai sepertiga kota Surabaya.

Kemudian pasukan sekutu selaku musuh yang memperkirakan dapat menguasai kota Surabaya dalam waktu yang singkat, ternyata ternyata sulit untuk mencapainya.

Sementara markas pertahanan terakhir di kota Surabaya, yang saat itu berada daerah Gunungsari berhasil diserang musuh pada 28 November 1945.

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2023: Peran Santri dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Sang Penjaga NKRI

Dengan demikian memaksa daerah pertahanan harus berpindah ke luar kota Surabaya.

Bangunan markas ulama dan santri di Waru jadi Cagar Budaya

Peristiwa tewasnya Jenderal AWS Mallaby yang kemudian membuat pihak tentara Inggris bersama Gurkha dan NICA-Belanda mengamuk pun akhirnya memaksa markas ulama dan santri yang semula berada di Blauran akhirnya mundur ke Waru.

Akan tetapi perlawanan ulama dan santri dalam bentuk pertempuran kecil terus terjadi hingga awal Desember 1945, yang pada akhirnya terjadi gencatan senjata pada 14 Oktober 1946, yang kemudian disusul dengan persetujuan Linggajati pada 25 Maret 1947, dimana saat itu, Inggris dan Sekutu merupakan pemenang Perang Dunia II.

"Markas perjuangan ulama di Waru itu, yang disebut Dimyati sebagai Markas Besar Oelama atau MBO bukan hanya penting untuk ulama dan santri, tetapi juga penting bagi negara," kata Djunaidi.

"Karena tanpa adanya perlawanan maka akan membuat proklamasi kemerdekaan tidak diakui," lanjutnya.

Baca Juga: 5 Hotel Murah di Surabaya Rp100 Ribuan, Cocok buat Santri yang Ingin Liburan ala Sultan!

Maka dari itu Djunaidi mengusulkan MBO tersebut agar diakui sebagai cagar budaya yang bernilai heroik luar biasa, dengan demikian MBO yang hingga saat ini masih berdiri, saat itu memang menjadi pusat koordinasi para ulama untuk mengatur strategi perang dan pusat penggemblengan laskar dan santri yang bertempur ke Surabaya.

Usulan dari Djunaidi tersebut memungkinkan, karena markas ulama dan santri Waru-Sidoarjo, dalam catatan Rijal Mummaziq merupakan tindaklajut dari Markas Besar Oelama Djawa Timur (MBODT) yang pertama di Jalan Blauran Gang IV/25, Surabaya, yakni rumah Kyai Yasin dan menjadi perhatian Gus Dur, sehingga dinapaktilasi PWNU Jawa Timur dengan dua langkah.

Dimana kedua langkah tersebut yakni penyelamatan pada 2019, dan langkah renovasi/revitalisasi pada 2023.

Langkah penyelamatan tersebut ditandai dengan kembalinya markas itu ke NU melalui jasa Ketua PCNU Surabaya, yakni Prof. Dr. KH Asep Saifuddin Chalim yang membelinya atas berdasarkan amanah Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi.

Baca Juga: Menggelegar sampai Langit, Wali Kota Eri Cahyadi: Kita Kembalikan Kota Surabaya sebagai Kota Santri!

Dimana hal itu melanjutkan amanah Gus Dur, dan kemudian Kyai Asep mewakafkannya kepada NU/PBNU, sehingga MBO menjadi salah satu cagar budaya guna mengenang jasa para pahlawan dan mewariskannya kepada generasi muda penerus perjuangan bangsa Indonesia.

Kemudian setelah aset sejarah tersebut terselamatkan dan diresmikan PWNU Jatim, yakni pada 16 November 2019, maka langkah renovasi dan revitalisasi dilakukan PWNU Jatim.

Renovasi dan revitalisasi tersebut dilakukan dengan membentuk Tim Renovasi dan Revitalisasi MBO sejak 10 Oktober 2023, yang melibatkan kader-kader NU profesional.

Pelaksanaan renovasi itu dilakukan secara arsitek tanpa mengubah keasliannya, dan merevitalisasi sebagai wahana edukasi sejarah dan pewarisan nasionalisme.***

Editor: Timothy Lie

Sumber: ANTARA Jurnal Studi Sosial FIS Univ Negeri Malang

Tags

Terkini

Terpopuler