Djunaidi menerangkan bahwa lokasi dari markas ulama dan santri tersebut juga samar, karena ayah dari Dimyati berjualan di depan rumah, dan juga banyak orang yang membeli alat untuk transportasi kuda di depan rumah yang juga dekat dengan pasar itu.
Dengan demikian kondisi tersebut bisa menjadi kamuflase dan bisa mengelabuhi pasukan Belanda yang membangun pos penjagaan di Waru.
Peran markas ulama dan santri pada pertempuran 10 November
Lebih lanjut dikatakan Djunaidi, yang juga pernah menimba ilmu agama di Pesantren Tebuireng tersebut juga sering melakukan kroscek ke santri senior yang bernama Sholeh Hasibuan guna memadukan kebenaran cerita Dimyati dengan pihak Tebuireng.
Baca Juga: Ini Hukum dan Syarat Zakat Fitrah Menurut Para Ulama
Dirinya mengaku ketika melakuka kroscek dan perpaduan data serta informasi maka ditemukan kecocokan mengenai kebenaran dari jejak sejarah tersebut.
"Mbah Kyai Hasyim Asy'ari memang sering wira-wiri ke Waru, keperluannya untuk mengatur strategi perjuangan, bahkan Bung Tomo juga sowan ke Mbah Kyai Hasyim Asy'ari, ya untuk menanyakan kapan mulai perang? Mbah Kyai Hasyim Asy'ari minta waktu," Djunaidi menceritakan.
Djunaidi melanjutkan ceritanya, bahwa ketika itu ternyata Kyai Hasyim Asy'ari meminta waktu tersebut guna menunggu kedatangan Kyai Abbas Jamil Buntet/Cirebon dan Mbah Kyai Hamid Babakan untuk mengatur strategi di markas Waru.
Kemudian setelah itu baru memulai perlawanan terhadap Sekutu, yang saat itu Soengkono selaku komandan pertempuran juga dilibatkan.
Baca Juga: Dengan Suara Menggelegar, Gus Yahya Berseru: Selamat Datang di Abad ke-2 Nahdlatul Ulama!
Djunaidi menceritakan bahwa saat itu strategi yang digunakan dikenal dengan Trisula, hal itu karena mbah Kyai Hasyim Asy'ari membagi tiga pusat pertahanan Kota Surabaya.