ZONA SURABAYA RAYA - Pesatnya perkembangan yang terjadi di masyarakat tak dapat dipungkiri menyebabkan tingkat stres semakin tinggi.
Perihal ini dapat diatasi dengan didirikannya sebuah wisata penyembuhan atau dikenal dengan healing tourism.
Oleh karena itu, mahasiswa Institut Teknologi 10 November meresponnya dengan melakukan penelitian terhadap budaya mental suku Tengger yang terletak di Jawa Timur.
Mukhammad Akbar Makhbubi selaku ketua kelompok prakarsa menjelaskan bahwa potensi pengembangan terkait terapi wisata suku Tengger terletak pada masyarakat dan budayanya.
Guna memperoleh ketentraman serta kesejahtraan, masyarakat Suku Tengger merujuk kepada larangan malima dan pedoman walima.
Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang akrab dipanggil Bobi tersebut menjelaskan, larangan malima terdiri atas maling/mencuri,main/ berjudi, madat/mengonsumsi narkoba, mabuk-mabukan atau minum minuman keras, dan madon/ berzina.
Selanjutnya untuk walima yaitu terdiri atas waras/sehat, wareg/kebutuhan makan tercukupi, wastra/kebutuhan sandang tercukupi, wisma/ mempunyai tempat tinggal, dan terakhir wasis atau dikenal dengan bijaksana.
Sementara itu, Suku Tengger yang bermukim di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) telah menjadi perhatian provinsi Jawa Timur.
“Keberadaan masyarakat Tengger yang hidup berdampingan dengan kawasan TNBTS dapat menjadi potensi dalam pengembangan healing tourism,”ujar Bobi dikutip dari laman kominfo.jatimprov.go.id, Rabu, 05 April 2023.
Bobi yang kini menempuh pendidikan di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS tersebut melanjutkan, terdapat enam sensibilitas yang dapat dikembangkan sebagai potensi healing tourism pada Suku Tengger.
Lebih dalam Bobi menjelaskan, enam hal tersebut diantaranya lunga atau dikenal dengan berkebun, gegeni/ berkumpul di dapur, sanja atau bertamu ketika hari menyonsong petang, memidang atau berjemur diri, megeng atau meditasi, dan terakhir dedolan atau berkelana.
Perihal tersebut merujuk kepada hasil riset yang diadakan di Desar Adat Ngadisan, Kabupaten Probolinggo, dan Desa Adat Wonokitri Kabupaten Pasuruan.
Baca Juga: Ngabuburit Ramadhan 2023, Makam Sunan Bungkul Surabaya, Menengok Sumur dan Pohon Beringin Keramat
Bobi menambahkan, bahwa upaya-upaya tersebut merupakan bagian dari cara Suku Tengger memberikan makna kepada kebudayaan dan kegiatan sehari-hari.
Kegiatan-kegiatan tersebut dianggap masyarakat adat Suku Tengger dapat menciptakan kesenangan, ketenangan, rasa ikhlas, terbuka, serta damai.
Selain itu dapat menjadi sarana untuk meminimalisir perasaan negatif.
Setelah diketahui sedemikian rupa, informasi terbut lantas disusun dan menjadi satu rangkaian kegiatan yang mengangkat konsep cultural-healing tourism.
Konsep tersebut mengutamakan pencarian makna, meminimalisir emosi negatif, dan keseimbangan terhadap interaksi.
Bobi dibantu empat rekannya yang berasal dari Departemen PWK ITS berharap, penelitian ini dapat bertransformasi menjadi bentuk kesiapan masyarakat dan infrastruktur guna menunjang wisata.
Penelitian ini digelar dibawah pengawasan dan bimbingan Arwi Yudhi Koswara ST,MT. Sebelumnya tim tersebut juga telah menyabet juara 2 PKM-RSH dalam gelaran Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2022.***