Ku sruput kopi yang ada di hadapanku. Nikmat, aroma melati tercium dari kopi yang aku minum, ucapku dalam hati.
"Enak kopinya mbah, merk apa to kopinya mbah?," tanyaku penasaran.
"Ngracik sendiri nak,"jawab si mbah singkat.
"Oala, mbah pinter ngracik kopi. Kopinya enak. Oiya.... jam segini kok masih buka to mbah. Apa gak takut mbah. Disini sepi," ucapku sambil meneruskan nyruput kopi.
"Nggak nak, kabeh sing nang kene iki koncoku, kabeh apik karo aku, sing penting ora garai mereka (tidak nak, semua yang ada disini temanku, semua baik pada saya, yang penting saya tidak menganggu mereka)," ucap si mbah dalam bahasa Jawa.
"Tutupnya jam berapa mbah," tanyaku lagi.
"Kalau sudah mulai terdengar orang ngaji atau adzan subuh di masjid ya langsung tutup," jawab si mbah sambil menyedot rokok klobot ditangannya.
"Berapa mbah?," tanyaku usai kopi dihadapanku habis. Aku mengambil sambil beberapa lembar uang ribuan dari balik saku jaketku.
"Ndak usah nak," jawab si mbah
Editor: Julian Romadhon
Sumber: Kisah nyata Imelda Koesprobowati, driver ojek online