Pro-Kontra Menag Yaqut, Sosiolog: Penertiban Pengeras Suara Perlu Dilakukan

- 1 Maret 2022, 16:45 WIB
Ilustrasi toa masjid
Ilustrasi toa masjid /Rifqi Danwanus/KABAR LUMAJANG
 
ZONA SURABAYA RAYA – Masyarakat tengah gaduh dengan polemik suara Adzan. Sosiolog menilai esensi dari surat edaran ialah terkait penertiban pengeras suara Adzan.  Penerbitan Surat Edaran (SE) No. 05 tahun 2022 oleh Kementerian Agama (kemenag) menuai pro-kontra dari masyarakat.
 
Meski demikian, beberapa pihak menilai bahwa langkah Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas untuk mengatur pedoman dalam penggunaan pengeras suara adalah langkah yang tepat.
 
Hal itu dinilai sebagai bentuk toleransi umat beragama di Indonesia yang merupakan negara majemuk. Namun, beberapa juga tidak setuju lantaran dinilai terlalu ikut campur dalam urusan beragama.
 
Sosiolog UNAIR Prof Dr Musta’in Mashud MSi menilai penertiban penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola memang perlu dilakukan.
 
Menurutnya, keberadaan masjid dan mushola di sejumlah daerah yang sama-sama menggunakan pengeras suara, maka akan memungkinkan terjadi kebisingan yang dapat mengganggu kenyamanan sosial. 
 
 
Oleh karena itu, penggunaan pengeras suara luar perlu diatur.
 
“Coba bayangkan, jika dalam satu kampung ada 2 masjid dan 5 mushola, semua aktivitas ibadahnya menggunakan pengeras suara luar, ini akan mengganggu saudara kita yang non-muslim,” katanya.
 
Prof mustain juga menilai, tidak semua kegiatan dalam masjid mushola harus menggunakan pengeras suara luar. Ia mengungkapkan, hakikat penggunaan pengeras suara di masjid adalah sebagai pengingat dan ajakan untuk beribadah (sholat).
 
Sehingga, lanjutnya,  hal-hal di luar itu seperti pujian-pujian, suara imam  saat shalat dan tilawah al- qur’an cukup menggunakan pengeras suara dalam saja.
 
Prof Mustain juga mengingatkan akan pentingnya toleransi antar umat beragama. Ia menerangkan, meski setiap umat memiliki hak kebebasan dalam beribadah, setiap umat beragama tidak boleh melupakan hak-hak yang dimiliki oleh umat beragama lain.
 
Artinya, kebebasan kita dibatasi kebebasan orang lain, apalagi kita hidup pada masyarakat yang heterogen (plural).
 
“Karena Islam juga mengajarkan hal itu, oleh karenanya meski islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, kita tidak boleh melupakan hak dari saudara kita yang tidak seiman,” tutur Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR tersebut.
 
 
Menyoal pro-kontra yang terjadi, Prof Musta’in menilai bahwa itu adalah hal yang lumrah sebagai konsekuensi demokrasi yaitu kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk selalu menyikapi sesuatu secara rasional bukan dengan sentimental.
 
“Ruang agama itu ruang yang bebas, sehingga kita harus sikapi ini secara rasional dan proporsional sehingga kita tidak selalu digegerkan dengan isu-isu yang berhubungan dengan agama,” urainya dikutip dari Unairnews, Selasa 1 Maret 2022. ***
 

Editor: Timothy Lie


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x