Namun, berbeda dengan sebagian ulama. Seperti Syekh ‘Izzuddun bin Abdissalam as-Sulami, ia berpendapat bahwa lebih baik membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau.
Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:
لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك
Artinya: Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik (sebutlah kasturi). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Resep Ayam Teriyaki, Menu Buka Puasa yang Simple dan Praktis
Mereka juga sepakat bahwa maksud kata ‘athyabu’ dalam hadits bukanlah harum mewangi secara indrawi. Tetapi tentang apresiasi besar Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada orang yang rela membiarkan bau nafasnya saat puasa. Bedanya, terletak pada logika hukum dan argumentasi yang ditawarkan.
Mazhab Syafi’i mengatakan, ketika Allah mengaitkan antara bau mulut orang puasa dengan pahala yang begitu besar, berarti bau mulut adalah alasan Allah mengapresiasi mereka dengan pahala. Karena itu, makruh hukum membersihkannya.***