Kronologi Lahirnya Hari Pahlawan 10 November, Semangat Persatuan Pemuda Indonesia di Surabaya

- 10 November 2021, 00:08 WIB
Ilustrasi pertempuran 10 November
Ilustrasi pertempuran 10 November /Zona Surabaya Raya/Julian Romadhon

ZONA SURABAYA RAYA - Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

Namun ternyata perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah belumlah usai, meski sebenarnya pihak Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan Jepang menyerah kepada Indonesia.

Meski demikian, pergolakan memperebutkan nusantara masih saja terjadi.

Lalu bagaimana perjuangan tersebut hingga akhirnya melahirkan Hari Pahlawan? 

Apa yang terjadi pada 10 November 1945?

 
Pada 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di pulau Jawa, dan 7 hari kemudian yakni 8 Maret 1942 pemerintah Kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, berdasarkan perjanjian Kalijati.
 
Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, pulau Jawa secara resmi diduduki oleh Jepang.
 
Namun 3 tahun berselang Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, setelah terjadi peristiwa di Hiroshima dan Nagasaki.
 
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945, dan dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian mengambil alih langkah politik dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
 
Belum juga genap satu bulan Indonesia merdeka, pasukan tentara Inggris datang ke Jakarta pada 15 September 1945 dan kemudian ke Surabaya pada 25 Oktober 1945.
 
 
Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama blok sekutu.
 
Alih-alih bertugas untuk melucuti tentara Jepang membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya.
 
Namun dibalik itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi utamanya, yaitu mengendalikan Indonesia kepada administrasi pemerintah Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.
 
Tentu saja pasukan Belanda ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut.
 
Inilah yang kemudian memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana.
 
 
Kembalinya pasukan Belanda ke Surabaya turut ikuti berkibarnya bendera merah putih biru tanpa persetujuan pemerintah Indonesia daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit Surabaya) pada malam hari, 18 September 1945 , tepatnya pukul 21.00 WIB.
 
Keesokan hari para pemuda Surabaya yang melihat bendera tersebut menjadi geram, karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
 
Massa pun berkumpul di Hotel Yamato dengan itikad baik, pihak Indonesia pun meminta perundingan dan negosiasi penurunan bendera asing tersebut.
 
Saat itu Sudirman yang dikawal oleh Sidik dan Haryono kemudian masuk ke hotel untuk berunding.
 
Tapi perundingan tidak berjalan baik, pihak Belanda tidak bersedia menurunkan benderanya, maka terjadilah perkelahian di dalam ruangan tersebut.
 
Sidik gugur di dalam ruang perundingan setelah terkena timah panas petugas Belanda, sementara Sudirman dan Haryono melarikan diri ke luar hotel.
 
Mendengar suara tembakan lalu melihat Sudirman dan Haryono melarikan diri ke luar hotel, sebagian massa kemudian berusaha naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
 
Haryono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel tersebut dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera.
 
Pengibaran Bendera Merah Putih di Hotel Majapahit Surabaya
Pengibaran Bendera Merah Putih di Hotel Majapahit Surabaya Julian Romadhon
 
Bersama Kusno Wibowo, mereka berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya lalu mengibarkan kembali ke puncak tiang bendera, sebagai bendera Merah Putih.
 
Setelah aksi heroik keberanian para pemuda Surabaya tersebut, pada 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris.
 
Serangan-serangan kecil tersebut dikemudian berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak.
 
Sebelum akhirnya Jenderal D. C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi.
 
Kemudian pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris sepakat melakukan genjatan senjata yang ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945.
 
 
Keadaan berangsur-angsur mereda, walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
 
Bentrokan bersenjata tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pemimpin tentara Inggris untuk Jawa Timur pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 23.30 WIB.
 
Saat itu mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan kelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.
 
Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak-menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya.
 
Kemudian mobil tersebut terbakar setelah terkena ledakan granat, yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
 
Kejadian ini menuai kontroversi dan banyak kejanggalan, pihak Indonesia yang disalahkan karena dianggap melanggar perjanjian gencatan senjata.
 
Namun berbagai sumber menyebutkan, seorang Perwira Inggris justru bersaksi bahwa Jenderal Mallaby yang memerintahkan untuk menembak kerumunan massa tersebut, dan juga tidak benar-benar yakin apakah Mallaby dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya.
 
Meski begitu kematian Mallaby menyebabkan pihak Inggris marah kepada Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh yang mengeluarkan ultimatum, untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan.
 
Dirinya menyebutkan juga, bahwa semua pimpinan Indonesia, pemuda polisi, dan kepala Radio Surabaya menyerahkan diri dengan mengangkat tangan ke Bataviaweg atau Jalan Batavia.
 
Ilustrasi pertempuran 10 November
Ilustrasi pertempuran 10 November
 
Batas ultimatum adalah jam 06.00 pagi pada tanggal 10 November 1945, ultimatum itu disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris dan ancaman itu tidak membuat gentar sekalipun.
 
Arek-arek Suroboyo justru naik pitam dan melawan, sebab Indonesia sudah berdiri sebagai sebuah negara. 
 
Selain itu banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
 
Rakyat Surabaya tak dibiarkan berjuang sendiri, ancaman pihak Inggris telah membuat seluruh rakyat Indonesia bersatu dari berbagai daerah di Indonesia.
 
Mulai dari pejuang Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Bali, hingga Resolusi Jihad yang dikeluarkan pimpinan pondok pesantren Tebu Ireng yang juga pendiri NU, Kyai Haji Hasyim Asy'ari.
 
 
Dari hasil kesepakatan para ulama se Pulau Jawa, seluruh santri di Jawa Timur dan sekitarnya berduyun-duyun bergerak ke Surabaya.
 
Para santri dan golongan nasionalis bersama-sama bahu-membahu melawan Inggris, nyari seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata.
 
Ilustrasi pertempuran 10 November
Ilustrasi pertempuran 10 November Julian Romadhon
 
Kemudian terjadilah pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya, yang memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan kota Surabaya, dan mengangkat Surahman sebagai Komandan Pertempuran, yang kemudian muncullah semboyan 'Merdeka atau Mati' dan Sumpah Pejuang Surabaya.
 
Hingga akhirnya 10 November 1945 pagi hari, rakyat yang siap angkat senjata pun masih menunggu, sampai kemudian tersiar kabar, seorang pemuda melaporkan terjadi penembakan oleh pasukan Inggris.
 
Peristiwa yang ditunggu-tunggu pun tiba, pertempuran hebat terjadi.
 
Meski Indonesia baru terbentuk, namun itu tidak menciutkan rakyat Indonesia melawan negara pemenang perang dunia ke-2, Inggris.
 
Dengan gagah berani rakyat Indonesia menghadapi perlawanan dari darat, laut, dan udara untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
 
Melalui semboyan yang akan selalu dikenang, 'Sekali Merdeka Tetap Merdeka'.***

Editor: Ali Mahfud

Sumber: Arsip Nasional RI Museum 10 November


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah