ZONA MISTERI : Rumah, Hidup Bersama Mereka yang Tak Kasat Mata [end]

5 Agustus 2021, 22:09 WIB
/

 

ZONA SURABAYA RAYA - [bagian 2] Sejak diomeli, aku tidak lagi mau peduli apapun yang kulihat atau kurasakan.

Di tempat sholat aku selalu melihat lelaki bersarung yang duduk, terkadang rebahan. Tidak mengganggu, jadi kubiarkan. Hanya sempat aku sedikit kecele, saat baru datang sepulang kerja beberapa waktu yang lalu.

“Assalamualaikum,” salamku
“Waalaikumsalam,” jawab suara dari dalam.

Kutengok ke arah musholla, sekelebat lelaki yang memakai sarung warna hitam seperti suamiku masuk ke ruang makan. Dengan berbunga-bunga kudatangi suamiku, untuk cium tangan. Tapi ruang makan kosong. Kalau suamiku jalan ke musholla, seharusnya dia melewatiku.
Curiga, kulangkahkan kaki ke musholla, dia tengah di posisi sujud, sholat.
Jadi, siapa yang jawab salam dan ke ruang makan tadi ya?

Baca Juga: ZONA MISTERI: Rumah, Hidup Bersama Mereka yang Tak Kasat Mata

Aku paham, jadi tak kupedulikan lagi. Kadang ketika aku melintas dari arah dapur hendak ke kamar mandi, aku melihat sosok setinggi suamiku, lagi-lagi bersarung hitam, menghadap ke arah meja belajar putriku, membelakangi. Saat kuhampiri, tidak ada siapapun, dan suamiku menguluk salam dari depan rumah. Baru dari apotik katanya. Dan sekali lagi aku hanya bisa menghela nafas.

Ini tidak seseram itu, entah karena aku mulai terbiasa atau apa. Tapi aku tidak merasa terganggu. Beda ceritanya dengan yang mendatangi Kiky, adik iparku di malam itu.
Ini ada kaitannya dengan adik iparku yang sebelumnya kuceritakan jika kelebihannya makin terasah setelah sering main ke rumah ini.

Salah satu teman kantorku, Dito, main ke rumah. Setelah duduk, kuperkenalkan dia pada Kiky. Sesaat Kiky terdiam dan memandang Dito dengan tajam. Tiba-tiba dia bertanya,

“Mas, rumah sampean itu 2 rumah belanda yang dijadikan satu gitu ya?”
Dito sedikit terkejut tiba-tiba ditanya seperti itu.
“Kok tahu mbak?”
“Mas, bisa tolong telpon mamanya sebentar, ada yang penting,” ucapnya tiba-tiba.

Aku yang juga kebingungan, bertanya,
“Lah, kenapa Dito harus telpon mamanya, kok kamu bisa tahu bentuk rumah Dito?”
Kiky menatapku dengan tatapan gelisah.

“Aduh aku ngomongnya gimana mbak, aku tiba-tiba masuk rumahnya mas ini, ada yang jaga dirumahnya itu, tapi nggak bisa ngapa-ngapain, ini rumahnya di serang loh mbak, dibikin nggak nyaman, kasihan mamanya mas ini,”ucapnya tiba-tiba.

“Hush! Apa sih Ky, masuk gimana, diserang gimana? Jangan bikin fitnah dan suudzon!” tukasku.
“Kayaknya aku ngerti maksud mbak,” ucap Dito tiba-tiba.

Singkat kata, Dito bercerita jika memang sudah merasa jika ada yang tidak beres di rumahnya. Perkara jual beli rumah. Akhirnya, Dito mencoba mendengarkan kalimat Kiky.

Baca Juga: ZONA MISTERI: Rumah, Hidup Bersama Mereka yang Tak Kasat Mata

“Pot depan rumahmu yang bunganya putih, coba gali, ada sesuatu di situ, dibungkus kain, buang itu sejauh mungkin, ke sungai saja kalau bisa, abis itu, bilang mamanya untuk tabur garam di sudut-sudut rumah, sambil baca doa, abis tu, bagi sedekah ya mas, ke tetangga sekitar saja, berupa makanan juga boleh, nanti, kalau ada tetangga yang sikapnya aneh, jangan kaget ya, jangan cerita apapun ke dia, doakan yang baik untuknya. Udah, gitu dulu aja, lekas telpon mamanya!”
Dito menuruti kata-kata Kiky. Ia menelpon mamanya dan semuanya tepat seperti yang Kiky bilang. Semua yang diucapkan Kiky diturutinya.

“Mbak, aduh mbak, aku ketahuan, dia lihat aku mbak, dia datang mbak, astaghfirullah,” racau Kiky tiba-tiba, wajahnya berkeringat.
“Ya Allah, ya Allah, apa ini, mas, mas Ryan tolong aku!” Kiky menyebut nama suamiku, kakaknya.

Tanpa berbicara, kulihat suamiku langsung bersila disamping adiknya, tangannya bergerak seolah mengambil sesuatu dari tubuh Kiky. Kulihat adik iparku itu menangis.

“Jahat dia, jahat, aduh!” isaknya seperti tengah kesakitan.

Aku bingung melihat itu. Pertama kalinya juga kulihat suamiku begitu. Orang yang sangat logis itu sekarang seperti sedang bertahan menggenggam sesuatu dalam semedinya. Keringatnya mengalir deras.
Aku terpaku pada sesosok wanita bermata tajam di anak tangga rumah. Tidak turun, dia hanya berdiri disitu. Memandang dengan bengis. Kubaca ayat kursi dalam hati.

Kang Ardi dan teman suamiku, Tio, yang baru datang, mengucap salam dengan terburu-buru dan langsung mengambil posisi semedi juga. Tanpa ada yang mengomando, Kang Ardi berjalan menuju tangga lalu mendenguskan nafas. Dalam posisi kuda-kuda dan wajah merah padam, dia membuka mulutnya.

Tio, seolah mengambil sesuatu yg tak terlihat dari tangan suamiku yang bergetar, lalu menghujamkannya ke lantai sambil berteriak “Allah!”

“Harghh!” teriak Kang Ardi, seolah memasukkan sesuatu ke mulutnya. Sesaat, kurasakan seperti angin kencang berputar di bagian dalam rumah, mengitari kami. Lalu sekejap, tenang. Suamiku menata nafas, Tyo sedikit terengah-engah, Kang Ardi berkeringat, Kiky terlihat lemas, wajahnya memerah dan jantungku berdegup kencang.

“Kuat wudhu nduk?” tanya Kang Ardi pada Kiky.
Kiky mengangguk dan menguatkan langkah menuju kamar mandi.

Tyo memilih keluar ke teras rumah sambil menetralisir, katanya.
Kang Ardi menatapku yang masih bengong setelah melihat pemandangan tadi.
Suamiku menunduk.
“Aku ambil gumpalan hitam besar dari Kiky tadi mas, itu apa?” tanyanya.
Aku terdiam heran, suamiku bisa gitu?
Kang Ardi senyum-senyum.

Baca Juga: ZONA MISTERI: Rumah, Hidup Bersama Mereka yang Tak Kasat Mata

“Kiky terlalu vulgar mak, kontrolnya masih belum bisa, jadi di datengin sama yang mau di usir, mana ada banyak, hehe, nanti coba tak arahkan lagi saja,” ucapnya.
“Kalau suami jenengan, next saja saya jelaskan, yang penting, jangan heran, sudah dari sananya, suami jenengan bisa seperti ini.”

“Jadi berasa lihat pemburu hantu ya,?” gurau Kang Ardi mencoba mencairkan ketegangan.
Ya, jawabku dalam hati. Ini sudah seperti adegan di perjalanan spiritual yang dulu sering kutonton di TV.

“Yang bikin heran, kok bisa makhluk kayak gitu tembus masuk dari lantai atas ya, bukannya sudah ada ‘pagar’nya?” ucap Kang Ardi padaku.

Nah, aku, sebagai orang yang merasa hanya ‘apes’ saja jika ketemu dengan makhluk-makhluk seperti itu, kali ini merasa sangat marah. Suamiku masih menata nafasnya. Adik iparku terduduk lunglai dan minum air doa dari Kang Ardi. Amarahku meluap, kuucapkan istighfar. Setengah berlari aku menuju lantai 2. Bulu kudukku meremang, sedikit pusing dan berat di kepala. Aku tak peduli. Sedikitpun rasa takut tidak ada dalam hati. Aku hanya ingin melindungi keluargaku. Dengan Nama Allah aku berlindung, Bismillahirrohmanirrohiim.

Dalam hati, aku berbicara, “Assalamu’alaika yaa Ghaib, sejak awal memasuki rumah ini, niatku baik. Aku mau tinggal berdampingan dan memilih ‘berdamai dengan kalian’, dengan caraku. Tidak boleh menampakkan wujud kalian, tidak boleh ada yang mengganggu tamu atau siapapun disini, meski masih ada yang menampakkan diri, aku tetap biarkan, karena buatku itu bukan gangguan. Tapi kenapa ada makhluk jahat disini di biarkan masuk bahkan sampai menyerang penghuni disini?”

Geram, kubacakan ta’awudz, basmalah, al fatihah, 3 surat Qul, ayat kursi dan surat jin ayat 1-2. Kutiupkan ke telapak tangan, kusentuh setiap sudut ruangan dan kubacakan ayat kursi di 4 penjuru mata angin.

“Kalau memang harus bersih semuanya, dengan Nama Allah SWT, Yang Maha Menguasai semesta, maaf, aku terpaksa harus usir kalian, pergi kalian semua dari sini, laa haulaa walaa quwwata illaa billah!” ucapku dalam hati. Mataku nyalang memandang setiap sudut. Hawa dingin yang tadinya melingkupi, perlahan menghangat.

Aku terduduk lemas. Rasanya seluruh bagian tubuhku lunglai. Setelah kurasa cukup mengembalikan tenaga. Kulangkahkan kaki menuju pohon sawo, yang rimbun daunnya hampir melewati lantai 2 rumah ini.

Baca Juga: ZONA MISTERI: Rumah, Hidup Bersama Mereka yang Tak Kasat Mata

“Assalamualaikum yaa ghaib, bagaimana ini, kenapa yang jahat di biarkan masuk, sebagai penghuni terlama disini, harusnya sampean bisa jadi filter rumah ini. Aku berbicara padamu sebagai orang yang telah di percaya pemilik rumah ini untuk menjaga tempat ini.”

Macam orang gila, aku bicara dalam hati tepat di depan rimbun pohon sawo, tempat dimana aku melihat makhluk tinggi besar menyerupai orang itu memperlihatkan diri saat awal memasuki rumah ini dulu.
Dan kudengar bisikannya, ‘Maaf.’

Sejak saat itu, rumah yang kutempati bersih. Hanya tinggal ‘penghuni’ asli rumah itu yang sesekali makmum jama’ah dengan kami saat sholat di rumah.

Masih banyak yang tak kupahami dari dunia gaib ini. Berlandaskan ketidaktahuanku dan keinginan kami untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, Kang Ardi melontarkan ide untuk melakukan tawasul (kirim doa) rutin setiap kamis. Aku setuju, bukankah jika terus di bacakan ayat-ayat suci, rumah itu akan terang dan terhindar dari keburukan? – Inshaa Allah--

Komunitas kajian kami membahas seputar syariat. Kirim doa pada leluhur dan orang tua kami, yasinan dan pembahasan tentang hal-hal dasar dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat. Tidak langsung menyentuh ranah itu. Ada dasar yang harus diperkuat, agar hati tak mudah goyah.

Semoga dengan semakin memantapkan dasar kami, keimanan kamipun bertambah. Bukan karena ingin semakin mahir berkomunikasi dengan 'mereka'.
Karena aku percaya, bagaimanapun caranya, setan akan melakukan seribu kebaikan demi menjerumuskan manusia pada satu pintu kesesatan.

-- Aku berlindung kepada Allah, Tuhan semesta alam, dari kejahatan diriku sendiri, syetan yang bersembunyi dalam diri setiap makhluk, dan setan yang terkutuk--

 

 

Pipit Ika
IG : Catatan Pipit Ika
Facebook Page : Catatan Pipit Ika
Youtube : Catatan Pipit Ika

Editor: Julian Romadhon

Tags

Terkini

Terpopuler